Thursday, September 4, 2008

Musik Indi Pendobrak Kemapanan

Dalam industri musik, indie label bukan cerita baru. Setidaknya bagi Amerika. Kita bisa menelusurinya ke paro pertama 1920-an saat industri rekaman didominasi Columbia, Edison, Victor, atau ARC. Kala itu, perusahaan-perusahaan kecil muncul menyeimbangkan keadaan. Paramount, Okeh, Vocalion dan Black Patti, adalah beberapa di antaranya.
Sekalipun begitu, perlawanan indie label tak urung membuat banyak raksasa terluka, bahkan sebagian di antaranya tak sanggup lagi bertarung. Edison, misalnya, meninggalkan gelanggang dan berkonsentrasi pada radio. Belum lagi Columbia yang diambil CBS, atau Victor yang dikuasai raksasa baru RCA. Untuk dua dasawarsa ke depan, terjadi transfer situasi yang menyisakan peluang bagi siapa pun untuk bermain. Baru pada paro kedua tahun 1940-an, peluang itu kembali menciut seiring kembalinya dominasi para raksasa. Sdikitnya ada enam raksasa yang saat itu memainkan perannya secara signifikan. Mereka adalah Columbia, Victor, Decca, Capitol, MGM dan Mercury.
Di Indonesia, trend “pemberontakan” itu sebenarnya cukup lama digaungkan.
“Di Indonesia. Trend indie dibuka oleh PAS Band,” kata David Tandayu dari KripikPeudeus (KP) yang ditemui RILEKS.com di salah satu resto kecil di Jakarta. Sejenak kembali ke belakang, PAS Band PAS tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang bertitel "Four Through The S.A.P" ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya.
Kekuatan indie dalam kacamata David, sebenarnya lebih berkaca pada “ramalan” John Nasbitt dalam bukunya Global Paradoks. “Dalam tulisannya, Naisbitt mengatakan kalau perusahaan-perusahaan besar kelak akan digerogoti oleh perusahaan-perusahaan kecil. Kalau mereka ingin selamat, harus merangkul perusahaan kecil itu,” jelas David yang juga seorang asisten dosen di sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka.
Dalam komunitas indie di Indonesia, Kripik Peudeus termasuk sudah merasakan asam garam pergerakan musikalitasnya. ‘”Tapi kami melihat indie sekarang secara sistem makin rapi,” imbih David yang kerap ditulis dengan Day-Vee, vokalis dalam kelompoknya.
David yang sebelumnya lama berkiblat ke scene hip-hop melihat perkembangan indie label cukup pesat perkembangannya. “Sebenarnya perkembangan masing-masing scene musik itu berbeda-beda,” timpalnya. Hiphop misalnya. Menurut David, hiphop harus berterimakasih kepada Iwa K, sebagai pembaru hiphop di Indonesia. “Dengar-dengar malah akan ada Tribute to Iwa K,” ucapnya serius.
Dalam kacamata David, yang skripsinya pun bicara soal musik hiphop (“Meyakinkan dosen untuk setuju, sudah perlu perjuangan berat. Padahal musik lain langsungdi-acc”), Hiphop jangan pernah memasang jarak dengan genre musik lain. “Menurut saya sih, perlu ada daerah abu-abu yang tidak dibatasi oleh apapun,” ucap cowok yang mulai bertubuh tambun ini kalem. “Intinya, hiphop jangan pernah membuat pembatasan,” tandasnya. Sebenarnya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada, termasuk perbedaan idelogi dengan genre lain, membuka diri dengan komunitas lain, menurut David, justru bisa memberi masukan yang berharga untuk komunitas hip-hop itu sendiri.
Dalam sejarahnya di Indonesia, hiphop mulai berkembang tahun 80-an ketika era breakdance menjamur juga. “Dulu hiphop itu identik dengan gangster, psitol, kekerasan dan drugs,” terangnya lagi. Tapi kemudian ketika Tupac Shakur ditembak mati, menurut David, secara pelan-pelan itu menjadi era "the end of the gangster.”
Kekuatan indie label menurut david adalah karena kemampuannya membuat opini yangtidak mainstream. “Bayangkan, mereka membuat zine sendiri, menulis apapun termasuk yang provokatif tentang band mereka. Dan itu mereka lakukan terus menerus supaya orang lain tertular virus mereka," jelas David. Menurut David, komunitas hiphop itu besar.
Dalam spirit yang sama, seorang Wendi, memilih disebut Wenz Rawk, mengatakan hal yang senada dengan David. Wenz yang lebih benyak berkiprah di area metal underground, punya pandangan yang tidak jauh berbeda dengan David. “Persoalan penggunaan istilah indie dan underground saja, sudah terjadi perdebatanpanjang,” terang cowok yang kini memlih menjadi manajer band `riots` disco The Upstairs. Menurutnya, Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom `indie` dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non- mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasik mengenai istilah `indie atau underground` ini di tanah air.
Sebagian orang memandang istilah `underground` semakin bisa karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang `sell-out`, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih `elastis` dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh meninggalkan istilah ortodoks `underground` itu tadi.
Menyimak sejarah indie di Indonesia, kita akan dibawah sejarah panjang perjuangan meletakkan tataran eksis band-band metal yang sudah malang melinag di scene underground Indonesia. Mengutip sejarah yang Wenz tuturkan, Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy (Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Trencem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten.
Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70-an. “Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar` dan `ekstrem` untuk ukuran jamannya,” jelas cowok berkacamata yang juga editor di salah satu majalah musik terkemuka ini.
Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band-band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah hanya sedikit saja album rekaman yang terlahir dari band-band rock generasi 70-an ini.
“Jakarta dan Bandung masih merupakan sentra dari pergerakan rock underground,” terang Wenz. Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini.
PUNKPunk sebagai jenis musik, masuk ke tanah air pada tahun 1980-an, bersamaan dengan kegandrungan anak-anak muda pada grup band politis asal Inggris, Sex Pistol. Awal tahun 1990-an, beberapa anak muda di Bandung kemudian mencoba mengartikulasi budaya impor itu dengan berdandan punk: rambut berdiri (mohawk) yang dilengkapi berbagai asesoris khasnya.
Agak unik ngobrol dengan komunitas ini. Mereka punya sikap tegas dan berani berbeda secara prinsip. “Menurut gue, punk itu mengembalikan kontrol atas diri loe sendiri. Do it Yourself dan anti kemapanan,” terang Ika, yang juga kerap disebut Peniti Pink, salah satu anggota komunitas punk di Jakarta. Dalam kacamata Ika, punk lebih kepada persoalan melawan, bukan memberontak. “Kami melawan ketidakadilan, melawan dari tekanan, bukan memberontak tapi melawan. Anti kemapanan dalam arti menolak segala sesuatu yang sudah jadi status quo,” tegas cewek yang dikontak via email itu.
Sebagai seorang perempuan, Ika tidak merasakan adanya perbedaan perlakuaan antara punkers cewek dan cowok. “Dalam skala besar, keterwakilan punker cewek memang tidak sebesar yang cowok. Tapi sekarang sudah lumayan menonjol dan punya pengaruh juga,” tambah Ika. Menurut Ika yang kerap menulis soal punk dan perempuan, punk mampu melihat perempuan dengan lebih adil dan fair dibanding mainstream.
Soal tudingan komunitas punk banyak mengumbar kata-kata provokatif, Ika menolaknya. “Tidak juga. Organ-organ politik dan agama di Indonesia, kayaknya malah lebih provokatif deh,” kilahnya. Tapi Ika tidak menolak jika punk juga menjadi bagian dari gaya hidup. “Punk juga bisa jadi fesyen, musik, atau apapun yang gue rasa punk bisa masuk ke dalamnya,” tandasnya Ika lagi. Tapi percaya atau tidak, Ika mengaku tidak berharap apa-apa dari scene punk di Indonesia. “Tidak ada yang gue harapkan,” tegasnya.
Perkembangan scene punk --komunitas, gerakan, musik, fanzine, dan lainnya-- paling optimal adalah di Bandung, disusul Malang, Yogyakarta, Jabotabek, Semarang, Surabaya, dan Bali. Parameternya adalah kuantitas dan kualitas aktivitas: bermusik, pembuatan fanzine (publikasi internal), movement (gerakan), distro kolektif, hingga pembuatan situs.
Meski demikian, secara keseluruhan, punk di Indonesia termasuk marak. Profane Existence, sebuah fanzine asal Amerika menulis negara dengan perkembangan punk yang menempati peringkat teratas di muka Bumi adalah Indonesia dan Bulgaria. Bahwa `Himsa`, band punk asal Amerika sampai dibuat berdecak kagum menyaksikan antusiasme konser punk di Bandung.
Di Inggris dan Amerika --dua negara yang disebut sebagai asal wabah punk, konser punk hanya dihadiri tak lebih seratus orang. Sedangkan di sini, konser punk bisa dihadiri ribuan orang.
Mereka kadang reaktif terhadap publikasi pers karena khawatir diekploitasi. Pers sebagai industri, mereka anggap merupakan salah satu mesin kapitalis. Mereka memilih publikasi kegiatan, konser, hingga diskusi ide-ide lewat fanzine. [joko/foto: istimewa]